Safinatun Naja
Empat hari sudah aku merasa ada yang kurang beres dengan
kesehatanku. Sejak Kamis lalu, aku kehilangan kepekaan indera penciuman. Aku
merasa teramat cemas, takut kalau-kalau terjangkit virus Covid-19 yang tengah
merebak. Mengingat diriku yang tinggal di pesantren, hal yang paling
kukhawatirkan bukanlah kesehatanku, melainkan para temanku, keluarga Abah Yai,
dan warga pondok yang lain. Takutnya, aku menjadi biang keladi suburnya virus
ini di pesantren yang kucintai ini. Dengan istiqomah bermasker dan menjalani
isolasi mandiri, aku mengikuti
aktivitas pondok seperti biasa.
Saat ini, tengah berlangsung kegiatan imtihan semester gasal.
Hari Jumat adalah jadwal ujian Qira’atul Kutub. Di sini para santri
diuji kemampuannya dalam membaca kitab, penguasaan isi dan maksudnya, Nahwu-Shorof-nya, dan menjawab
permasalahan-permasalahan kontemporer. Untuk kelasku, Ibtida’, kitab yang
digunakan adalah Safinatun Naja karya Syekh Salim
bin Sumair al Hadlrami yang disyarhi oleh Syekh Nawawi Albantani dalam Kasyifatus Saja. Kebanyakan kawanku
para santri putra sudah merasakan panasnya duduk di sidang Safinah-an ini, sedangkan
untuk santriwati baru seorang yang maju. Malam itu, entah mengapa aku merasa
begitu bersemangat. Kebanyakan temanku merasa grogi ketika akan maju, terlebih
karena sistemnya undian. Anehnya, aku justru begitu menikmatinya, seolah aku
akan dapat membabat habis seluruh pertanyaan nanti. Padahal, aku sama sekali
tak punya persiapan matang. Hanya berbekal muthola’ah tempo hari, aku serasa melayang di atas
awang-awang “rasa bisa”.
Sembari menunggu
undian namaku terambil, bukannya men-tikrar materi, aku justru mengobral canda bersama
teman-temanku. Sesekali aku mengguyoni pertanyaan yang diajukan asatidz kepada peserta. Undian
mengena pada nama Rabi’ah, mbak-mbak target temanku, si Syam. Aku sendiri belum
pernah menatapnya, meski banyak yang bilang bahwa ia amat cantik. Beberapa
menit berlalu, tapi si Rabi’ah ini tak kunjung selesai. Para dewan asatidz terdengar masih
terus mencecarnya.
“Suwi men,” gerutuku pelan
sembari melirik tampang peserta satu ini, dan…..Masya Allah! Aku terkesima dengan paras seorang bidadari.
Parasnya begitu terang, bersih, dan ekspresi bingungnya makin menyemburkan aura
kecantikannya itu. Pantas saja bila banyak di antara kawanku yang jatuh hati
padanya. Meski hanya menatapnya sepersekian sekon, hatiku serasa terjerat,
luluh pada keanggunannya. Baru sekali ini kudapati paras yang begitu sempurna.
Hingga akhirnya, usailah waktu show bidadari ini, dan ia lantas mengambil undian nama
peserta selanjutnya.
“Kang Ibpnu,”
suaranya lembut membaca nama yang tersemat pada gulungan kertas itu.
Saking lembutnya,
aku tak mendengar namaku terpanggil, hinggga teman-temanku selayaknya koor
paduan suara mengulangi, “Kang Ibpnuuuuu….”
“Apa? Aku gaes..? What the hell!”
Aku lantas menengok
ke depan, dan Masya Allah, sekali lagi kutemukan wajah bidadari itu masih di
sana, tak kunjung mundur, dan ia pun tengah melirik ke arahku. Jadilah kedua
mata kami sejenak bertatap pandang. Aku tak kuasa, lalu mengakhirinya dengan
menundukkan kepala, takut kalau benar-benar telah jatuh hati. Hingga dengan
isyarat anggukan, kudapati Ustadz Afina mempersilakanku untuk maju. Dengan rasa
yang serba tak keruan, aku pun maju. Bismillaah… Sesampainya di depan, sungguh tak seperti yang
kubayangkan sebelumnya. Di hadapan para asatidz penguji-Ustadz Afina, Ustadz Habibur, dan Ustadz Tholhah, aku
mati napas. Aku gugup kepayahan. Dengan tangan bergetar kuambil undian pasal
yang harus kubaca.
“Syuruthul Wudlu, ustadz,” kataku
sembari menunjukkan gulungan kertas itu kepada para asatidz. “Bismillahirrahmaanirrahiim… Fashlun utawi iki
iku fashol suwiji…” hingga akhir kubaca dan kuterangkan maksud isi dari materi ini.
Alhamdulillah, meski
dengan tubuh yang gemetaran, aku dapat menyampaikannya dengan jelas hingga
menandaskan seluruh pertanyaan asatidz. Dengan perasaan lega, aku mundur kembali. Malam
itu seusai ujian, pikiranku masih tersesaki dengan Rabi’ah. Parahnya lagi,
pikiran ini terbawa bahkan di kala sholat. Benar-benar kronis, akut. Adakah aku
benar-benar tengah jatuh cinta? Aaaahhhh… Andai rasa ini benar kehendak-Nya,
sungguh tak akan aku menolak.
Malam berikutnya,
ujian dilanjutkan. Tibalah giliran Syam untuk maju. Kawanku yang naksir Rabi’ah
ini maju dengan begitu pede. Saat ia maju, terdengar beberapa suara santriwati
kegirangan. Aksen sundanya yang kental dalam membaca pegon jawa memang
terdengar menggelitik. Terlebih saat sesi tanya jawab, jawabannya yang
aneh-aneh makin membuat tawa hadirin-hadirat membuncah. Dari kejauhan, beberapa
kali kudengar tawa Rabi’ah cekikikan dengan penampilan pemujanya.
Entah mengapa aku
seperti dilahap api cemburu. Hatiku terasa panas. Orang bilang, cemburu tanda
cinta. Jadi, benarkah aku tengah jatuh cinta? Mungkin iya barangkali, tapi apakah
pantas? Bukankah ia terlalu sempurna untukku? Lihatlah aku, pria kerempeng
berkulit sawo busuk? Kupikir Syam lebih pantas untukknya. Syam sering merasa
lebih tampan dariku, lebih pintar, enerjik, dan gaul. Sesingkat ini aku jatuh
cinta, dan secepat ini aku terluka? Aku sadar untuk mundur teratur. Patah hati
menyadarkanku bahwa belum saatnya untuk menaruh rasa. Sebagai santri sejati, belajar
adalah harga mati.
“Bismillah… Belum tiba masaku
untuk bermain rasa. Aku santri, bukan aktor drakor.”
BIOGRAFI PENULIS
Juara 2 Lomba Cerpen HARLAH IPNU 67 & IPPNU 66, M. Khoirul Imamil M, pria asli Magelang kelahiran 2002 dengan tanggal persis Pak SBY. Kesehariannya dihabiskan di PP Inayatullah Monjali, tempatnya nyantri sekalian mengolah rasa, menginterpretasi suasana, dan menyuratnya dalam jalinan sastra. Selain cerpen, juga aktif menulis puisi, geguritan, dan tajuk rencana-meski jarang dimuat. Saat ini tengah menempuh pendidikan di UGM dengan jurusan Bahasa Inggris, persis seperti idolanya, Alm. Pak Sapardi.