Gaung
Janari
Kriiiiiiiiiiiiiing. Alarm
ponsel berbunyi. Sinar mentari menyeruak melewati sela-sela jendela yang
tertutup tirai, membuat pemuda berambut ikal yang sedang mendekap guling
menyipitkan mata. Tangannya meraba kasur, mencari ponsel lalu mematikan alarm
yang membuat telinganya berdengung. Ia menyibakkan selimut, berniat beranjak
dari kasur. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah benda di pojok kamar. Benda
itu tampak seperti Robot Eve dalam Film Wall-E. Seketika air mukanya berubah,
dari sorot matanya tampak kekecewaan dan kemarahan yang membaur menjadi satu.
Benaknya melayang pada memori setahun silam kala ia gagal menjuarai kontes
robotika nasional. Usahanya siang malam berjibaku dengan algoritma,
mekatronika, sistem embedded, dan segala tentang sistem siber-fisik
lainnya terasa sia-sia. Ia menunduk, menghela napas panjang, lalu beranjak
menyabet handuk menuju kamar mandi. Alih-alih mandi, ia hanya akan membasuh
mukanya lalu kembali tidur atau sekadar rebahan sambil bermain game online.
Begitulah Gaung Janari, pemuda 20 tahun yang sedang menjalani studi Teknik
Robotika dan Kecerdasan Buatan di Universitas Airlangga ini menghabiskan akhir
pekan, bahkan hari-hari biasa pun demikian.
Tapi kali ini berbeda. Entah apa yang dipikirkannya, Janari tidak
merebahkan tubuhnya di kasur berbalut seprai warna khaki itu. Ia justru
berjalan memasuki sebuah ruangan bercat
putih dengan rak buku yang besarnya memenuhi satu sisi ruangan. Tanpa aba-aba,
diraihnya sebuah buku bersampul biru bertuliskan Jurnal Rentjana.
Seketika Janari teringat akan Rentjana Arum Sari, perempuan cerdas dan tangguh
yang selalu ada untuk dirinya, yang selalu memberinya semangat kala ia hilang
harapan. Tapi Janari sadar, sosok kakak perempuan yang dirindukannya itu telah
kembali kepada-Nya. Janari kemudian mulai membuka lembar demi lembar buku
bersampul biru itu hingga jemarinya berhenti pada halaman bertuliskan:
Tidak ada hari tanpa aku berlatih dan berusaha. Tapi hari ini aku gagal
mewujudkan mimpiku. Menjadi news anchor adalah cita-citaku sedari kecil. Mana mungkin aku
baik-baik saja. Tentu aku kecewa, marah, menangis, bahkan merasa akulah manusia
paling bodoh. Tapi aku tidak boleh terus menerus berada dalam kesedihan dan
meratapi kegagalan tanpa melakukan apa-apa. Yang perlu aku lakukan adalah
bangkit dan terus melangkah. Seperti kata Soe Hok Gie, Dunia itu seluas
langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu
kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya. Ya, benar. Aku harus
terus melangkah. Petualangan ini belum berakhir hanya karena aku gagal pada
satu kesempatan. Aku percaya, akan ada titik di mana segalanya terasa indah.
Seperti pelangi setelah hujan. Masa-masa buruk akan berlalu dan masa depan akan
baik-baik saja. Perjuangan akan berbuah manis dan air mata berganti
kebahagiaan.
Janari merasa tertohok. Kepalanya seakan dipukul keras. Jantungnya
seakan berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Ia menyadari apa yang telah
dilakukannya. Selama ini aku telah memenjarakan diriku dalam kenangan
kegagalan. Apa aku terlalu takut jatuh untuk melangkah? Apa aku terlalu takut
mengambil risiko untuk memulai kembali? Apa aku terlalu nyaman dalam
keteraturan yang justru membuatku apatis dan tidak bertumbuh? Apa aku akan baik-baik saja jika terus begini?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul bertubi-tubi, membuat Janari terkesiap.
Tangannya mengepal, matanya berapi-api. Dalam sunyi senyap ruangan bercat putih
itu ia berteriak "Tidak!, justru aku tidak akan baik-baik saja jika terus
begini. Aku tidak mungkin terus berbaring di kamarku yang hangat tanpa
melakukan sesuatu. Aku adalah pelajar. Sejatinya seorang pelajar, aku harus
terus belajar, meraih mimpi. Sama seperti kakakku, aku pun percaya akan ada
titik dimana semua terasa indah. Tidak akan ada perjuangan yang sia-sia. Semua
ini adalah proses yang akan membawaku menjadi lebih baik. Kegagalan di masa
lalu adalah pelajaran, batu loncatan untukku melompat lebih jauh".
Benar saja, beberapa bulan setelahnya, bersama Pertuni (Persatuan
Tunanetra Indonesia) dan tim robotika di kampusnya, ia berhasil menciptakan
robot yang memudahkan tunanetra menjalani hidup. Robot yang diberi nama The
God Eye itu mampu mendeteksi uang, ekspresi seseorang, dan benda-benda
lainnya. Dari sana Janari merasa kembali menyala. Ia menjadi pelangi yang
berhasil melewati badai, menjadi kupu-kupu setelah proses panjang metamorfosis.
Hari demi hari ia terbang lebih tinggi menembus cakrawala. Ia telah menemukan
kembali dunianya. Pun Janari menyadari satu hal yang akan terus ia percaya.
Dengan senyum yang merekah ia berkata "Aku, Gaung Janari, diciptakan untuk
sesuatu yang lebih besar".
BIOGRAFI PENULIS
Juara 3 Lomba Cerpen HARLAH IPNU 67 & IPPNU 66
Nama
: Retno Sari
Tanggal lahir : 26 Agustus 1999
Alamat : Madukoro 006/001, Kajoran,
Kab. Magelang
Pendidikan : Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Tidar
(2018-sekarang)
E-mail/Ig : retnosari445@yahoo.com/@retnossr
Motto hidup : "Aku berpikir, maka aku ada"
Prestasi : Juara II Mahasiswa Berprestasi
FISIP Universitas Tidar Th. 2020