Sabtu, 10 April 2021

 

Gaung Janari

 Kriiiiiiiiiiiiiing. Alarm ponsel berbunyi. Sinar mentari menyeruak melewati sela-sela jendela yang tertutup tirai, membuat pemuda berambut ikal yang sedang mendekap guling menyipitkan mata. Tangannya meraba kasur, mencari ponsel lalu mematikan alarm yang membuat telinganya berdengung. Ia menyibakkan selimut, berniat beranjak dari kasur. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah benda di pojok kamar. Benda itu tampak seperti Robot Eve dalam Film Wall-E. Seketika air mukanya berubah, dari sorot matanya tampak kekecewaan dan kemarahan yang membaur menjadi satu. Benaknya melayang pada memori setahun silam kala ia gagal menjuarai kontes robotika nasional. Usahanya siang malam berjibaku dengan algoritma, mekatronika, sistem embedded, dan segala tentang sistem siber-fisik lainnya terasa sia-sia. Ia menunduk, menghela napas panjang, lalu beranjak menyabet handuk menuju kamar mandi. Alih-alih mandi, ia hanya akan membasuh mukanya lalu kembali tidur atau sekadar rebahan sambil bermain game online. Begitulah Gaung Janari, pemuda 20 tahun yang sedang menjalani studi Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan di Universitas Airlangga ini menghabiskan akhir pekan, bahkan hari-hari biasa pun demikian.

Tapi kali ini berbeda. Entah apa yang dipikirkannya, Janari tidak merebahkan tubuhnya di kasur berbalut seprai warna khaki itu. Ia justru berjalan memasuki  sebuah ruangan bercat putih dengan rak buku yang besarnya memenuhi satu sisi ruangan. Tanpa aba-aba, diraihnya sebuah buku bersampul biru bertuliskan Jurnal Rentjana. Seketika Janari teringat akan Rentjana Arum Sari, perempuan cerdas dan tangguh yang selalu ada untuk dirinya, yang selalu memberinya semangat kala ia hilang harapan. Tapi Janari sadar, sosok kakak perempuan yang dirindukannya itu telah kembali kepada-Nya. Janari kemudian mulai membuka lembar demi lembar buku bersampul biru itu hingga jemarinya berhenti pada halaman bertuliskan:

Tidak ada hari tanpa aku berlatih dan berusaha. Tapi hari ini aku gagal mewujudkan mimpiku. Menjadi news anchor adalah cita-citaku sedari kecil. Mana mungkin aku baik-baik saja. Tentu aku kecewa, marah, menangis, bahkan merasa akulah manusia paling bodoh. Tapi aku tidak boleh terus menerus berada dalam kesedihan dan meratapi kegagalan tanpa melakukan apa-apa. Yang perlu aku lakukan adalah bangkit dan terus melangkah. Seperti kata Soe Hok Gie, Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya. Ya, benar. Aku harus terus melangkah. Petualangan ini belum berakhir hanya karena aku gagal pada satu kesempatan. Aku percaya, akan ada titik di mana segalanya terasa indah. Seperti pelangi setelah hujan. Masa-masa buruk akan berlalu dan masa depan akan baik-baik saja. Perjuangan akan berbuah manis dan air mata berganti kebahagiaan. 

Janari merasa tertohok. Kepalanya seakan dipukul keras. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Ia menyadari apa yang telah dilakukannya. Selama ini aku telah memenjarakan diriku dalam kenangan kegagalan. Apa aku terlalu takut jatuh untuk melangkah? Apa aku terlalu takut mengambil risiko untuk memulai kembali? Apa aku terlalu nyaman dalam keteraturan yang justru membuatku apatis dan tidak bertumbuh?  Apa aku akan baik-baik saja jika terus begini? Pertanyaan demi pertanyaan muncul bertubi-tubi, membuat Janari terkesiap. Tangannya mengepal, matanya berapi-api. Dalam sunyi senyap ruangan bercat putih itu ia berteriak "Tidak!, justru aku tidak akan baik-baik saja jika terus begini. Aku tidak mungkin terus berbaring di kamarku yang hangat tanpa melakukan sesuatu. Aku adalah pelajar. Sejatinya seorang pelajar, aku harus terus belajar, meraih mimpi. Sama seperti kakakku, aku pun percaya akan ada titik dimana semua terasa indah. Tidak akan ada perjuangan yang sia-sia. Semua ini adalah proses yang akan membawaku menjadi lebih baik. Kegagalan di masa lalu adalah pelajaran, batu loncatan untukku melompat lebih jauh".

Benar saja, beberapa bulan setelahnya, bersama Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) dan tim robotika di kampusnya, ia berhasil menciptakan robot yang memudahkan tunanetra menjalani hidup. Robot yang diberi nama The God Eye itu mampu mendeteksi uang, ekspresi seseorang, dan benda-benda lainnya. Dari sana Janari merasa kembali menyala. Ia menjadi pelangi yang berhasil melewati badai, menjadi kupu-kupu setelah proses panjang metamorfosis. Hari demi hari ia terbang lebih tinggi menembus cakrawala. Ia telah menemukan kembali dunianya. Pun Janari menyadari satu hal yang akan terus ia percaya. Dengan senyum yang merekah ia berkata "Aku, Gaung Janari, diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar".

BIOGRAFI PENULIS

Juara 3 Lomba Cerpen HARLAH IPNU 67 & IPPNU 66

Nama                 : Retno Sari

Tanggal lahir     : 26 Agustus 1999

Alamat               : Madukoro 006/001, Kajoran, Kab. Magelang

Pendidikan         : Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Tidar (2018-sekarang)

E-mail/Ig            : retnosari445@yahoo.com/@retnossr

Motto hidup       : "Aku berpikir, maka aku ada"

Prestasi               : Juara II Mahasiswa Berprestasi FISIP Universitas Tidar Th. 2020

Facebook
0 Blogger

0 komentar: