Sabtu, 10 April 2021

 

RUANG RAHASIA

Siang yang terik di pertengahan Desember tahun 1865. Seorang lelaki tua, memakai jubah dan sorban putih berdiri menatap pemuda yang terengah-engah dari kejauhan. Beberapa pemuda berpeci dan bersarung yang lewat mengangguk takzim padanya. Dilihatnya pemuda itu membawa buntalan kain motif kotak-kotak merah biru dan karung yang terikat, dengan khas tampilan santri baru. Pemuda bersimbah peluh itu menghampirinya dan mengucap salam.

“Sepertinya kamu datang dari jauh? Siapa namamu?” tanya lelaki itu yang kemudian duduk diatas kursi jati berwarna coklat kelam. “Benar, kyai. Nama saya Hasan dari Butuh. Mohon izin untuk menimba ilmu di pondok ini. Maaf saya anak orang miskin, orang tua saya tidak bisa memberi apa-apa,” jawab sang pemuda berusia enam belas tahun itu. Lelaki yang disebut Kyai itu memperhatikan dengan seksama tampilan pemuda di depannya. Kulit hitam, rambut ikal dan berwajah biasa.

“Itu bukan masalah, tapi apa kamu yakin? Saya bukan siapa-siapa, mungkin tidak bisa memberimu ilmu apapun,”kata Kyai.

“Saya ikut saja apa kata Kyai, yang penting bisa mondok di sini,” jawab Hasan.

“Baiklah. Kamu jadi khodam di sini, tugasmu membuka pintu setiap pagi dan mengunci kembali pada malam hari setelah santri selesai kegiatan. Namun ingat, ada satu ruangan yang tidak boleh kamu buka kuncinya meskipun diminta oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Letaknya ada di sebelah kandang kambing, nanti saya suruh Toyib, khodam lain, untuk mengantarmu berkeliling. Kamu bisa memulai tugas malam ini. Kamar khodam ada di sebelah kiri dapur pondok.

Setelah diajak berkeliling oleh Toyib, Hasan beristirahat di kamar khusus khodam. Ia bertanya banyak hal pada teman barunya. Termasuk kemungkinan isi ruangan rahasia itu.

Hasan mengerjakan tugasnya dengan baik. Pukul tiga pagi, dia sudah membuka seluruh pintu dan membersihkan masjid serta kelas-kelas karena akan digunakan ratusan santri untuk sholat shubuh dilanjutkan mengaji Al-Qur`an. Namun, dia tidak pernah diperintahkan untuk masuk ke salah satu kelas mengaji. Oleh sebab itu, setelah melakukan tugasnya, Hasan sering mencuri dengar pelajaran dibalik dinding kelas yang terbuat dari anyaman bambu. Kemudian, ia mencatat dari penjelasan Ustadz yang mengajar, tanpa tahu bahwa kelas-kelas itu dibagi berdasarkan tingkatan. Ia melakukannya berpindah-pindah, tergantung kelas mana yang paling nyaring suara pengajarnya.

“San tolong bukakan ruangan disebelah kandang kambing! Aku mau mengambil barang,” pinta Ning Saidah. Hasan ragu. Ia menggaruk kepala yang tak gatal. “Waduh, maaf. Bukannya saya tidak mau, tapi sudah dipesan Kyai kalau tidak boleh membuka ruangan itu sama sekali.” Takut-takut ia menolak. Anak perempuan Kyai berumur tiga puluh tahun itu bersedekap. “Sudahlah, abah tidak akan tahu. Sebentar saja,” tawarnya. “Maaf, Ning. Perintah Kyai amanat untuk saya, tidak mungkin saya langgar.” Hasan mengatupkan kedua tangannya di dada tanda takzim. “Awas saja kamu, San. Ndak nurut, kuadukan nanti!” Ning Saidah pergi masih dengan wajah sangar.

Genap lima tahun ia berada di pondok itu, Hasan masih melakukan kegiatan seperti biasa meskipun santri datang silih berganti.

“San, kamu dipanggil Mbah Kyai disuruh menghadap ke rumah ndalem,” teriak Toyib. Hasan segera meletakkan cangkul yang ia gunakan untuk membersihkan rumput menuju rumah ndalem.

“San, duduk!” perintah Kyai tegas. Hasan berdebar, menerka-nerka sudah melakukan kesalahan apa.

“Kamu sudah lima tahun mondok disni. Dapat apa saja?” lanjut Kyai.

Hasan berpikir sejenak. Memang selama mondok, ia hanya bertugas membuka dan menutup pintu dengan segerombol kunci yang sudah dihafal urutannya. Pelajaran yang didapatnya pun hanya sekilas.

“Kenapa diam? Merasa tidak dapat sesuatu? Saya kan sudah bilang kalau tidak berjanji memberimu ilmu,” Tegas Kyai. “Maaf, Kyai. Saya mendapatkan banyak hal disini,” jawab Hasan. Mana mungkin ia menyuarakan isi hatinya. “Jangan mencoba berbohong padaku. Aku pernah mendengarmu menggerutu sebab tidak diikutkan pelajaran madrasah seperti temanmu,” tembak Kyai. “Aku juga tahu, kamu sering mencuri dengar pelajaran di kelas. Kamu sedikit sekali tidur karena berusaha mengejar ketertinggalan dan harus bangun lebih pagi daripada santri lain. Tidak pernah meninggalkan sholat wajib dan sunnah,” lanjut Kyai. Hasan terhenyak. ‘bagaimana kyai bisa mengetahui?’ batinnya.

“Aku rasa sudah cukup waktumu disini. Kuizinkan kamu pulang untuk mengabdikan ilmu. Kembalikan kunci-kunci itu padaku,” pinta Kyai. Beliau tersenyum, telapak tangannya terbuka.

“Tapi kyai, saya masih ingin disini menjadi khodam,” jawab Hasan pelan, sedih karena merasa terusir. Tapi tak urung tangannya mengangsurkan segerombolan kunci yang selama ini dipegangnya.

“Sudah cukup ilmu tertinggi yang bisa kuberikan padamu. Orang orang di kampung membutuhkanmu,” tegas Kyai. Hasan mengernyit samar, kepalanya tertunduk dalam. “Ujian menuntut ilmu telah kamu jalani selama lima tahun, San. Terbukti ruangan sebelah kandang tidak terbuka sama sekali selama kamu disini, bahkan ketika keluargaku yang memintanya. Sekarang pulanglah, aku meridhoimu untuk mengamalkan ilmu yang telah kau dapat. Sampaikan apa yang benar-benar kamu mengerti,” tutur kyai sepuh itu.

Hasan mencium takzim sang Kyai dengan berlinang air mata. Sadar bahwa selama ini ia sering menggerutu tidak ikhlas karena merasa dibedakan dengan santri lain. Rupanya ada rahasia besar di baliknya. Sebab, tak semua santri mendapatkan kesempatan yang sama sepertinya, pelajaran hidup langsung dari Kyai.

“Mungkin kamu penasaran dengan isi ruangan itu. Ikut aku!” perintah Kyai, beranjak dari kursinya. Hasan mengekor di belakang. Sampai di depan ruangan, Kyai memasukkan kunci ke lubangnya. Tanpa memutar kunci, pintu langsung dapat dibuka. “Ruangan sebenarnya tidak terkunci, tapi aku memang melarang membukanya tanpa seizinmu. Aku hanya memberimu kunci tanpa memberitahu bahwa ruangan ini tidak terkunci. Namun, karena sifat tawadhu dan kesabaran, kamu berhasil menjaga kepercayaan selama lima tahun. Itulah kunci menuntut ilmu dan makna Pendidikan sebenarnya.” Kyai tersenyum dan menepuk bahu Hasan.

Pemuda itu segera bersimpuh di kaki Kyai dan mengucapkan terima kasih serta maaf. Ia segera mengemasi barangnya yang tidak seberapa banyak dengan hati lega. TAMAT

BIOGRAFI PENULIS

Kuni Khumaero`, sangat kagum dipanggil dengan nama pena Khumaer Elchama. Lahir 16 tahun yang lalu di perdesaan Magelang, Jawa Tengah. Si melankolis yang kadang sanguinis ini punya hobi menggambar, berdebat, diskusi, bercita-cita menjadi psikolog ternama. Saat ini menjadi siswi jurusan ilmu-ilmu keagamaan di salah satu Madrasah Aliyah Negeri di Kota Magelang yang berkeinginan melanjutkan Pendidikan di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir. Si pemalas yang cinta mati dengan dunia seni ini jejaknya bisa dilacak melalui akun Instagram @isabellaisabella2274. Kicauannya kadang terselip di akun facebook Isabella. Dengan bekal karya tulisannya yang masih amburadul, berharap bisa menjadi posisi yang paling beruntung dalam event ini. Terimakasih

Facebook
0 Blogger

0 komentar: