Sabtu, 10 April 2021

 

TONGKAT KECIL SANG PEMIMPI

 

Angin berhembus bersama rintihan hujan, membasahi baju yang sedikit tersisa. Di batas kota seribu bunga. Magelang. Aku titipkan sejenak badan ini di warung kopi. Waktu menunjukan pukul 18.00 dan tak seperti biasanya, jalan yang di penuhi bus kota sekarang hanya tinggal kendaraan bermotor saja. Segelas kopi panas menemaniku duduk di kursi kecil ini. Dengan wajah sedikit lemas mereka datang dari satu per satu untuk memesan kopi. Disudut lain. Penjual gorengan dengan badan tinggi sedikit gemuk mengingatkanku kepada ibu. 2 tahun aku meninggalkan Ibu dan Bapak di kota orang. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Yang kini harus berjuang mencari ilmu di kota orang. Sesaat setelah ampas kopi mulai terlihat, dari kejauhan aku melihat anak kecil membawa tongkat dan memanggul karung. Bergegas dan bangkit aku dari kursi kecil ini lalu Aku menghampiri anak kecil itu...

“ Dek… Kenapa kau di sisni, Ibu kamu di mana dek?”. Ujarku di samping anak laki-laki itu. Dengan tatapan wajah yang berkaca-kaca, anak itu diam. Muka lemas sambil memegang tongkat kecilnya anak itu masih terdiam. Hati ini sedikit penasaran. Lalu …

“Kak. Apa kakak pernah membuat Ibu menengis?”. Ujar anak itu kepadaku dengan wajah yang berkaca-kaca.

“Emm...”. Jawabanku dengan sedikit menganggukan kepala. Disudut lain penjual kopi berjalan menghampiriku dengan membawa segelas kopi panas lalu…

“Dek, ini di minum dulu”. Ujar penjual kopi sambil mengasihkan segelas kopi ke anak laki-laki tersebut. Berlahan matahari meninggalkan kopi dengan senja berselimut kabut. Sedikit tiupan dan seduhan, tak terasa ampas kopi mulai kelihatan lalu...

"Beruntung ya Kakak masih punya Ibu". Ujar anak laki-laki itu sedikit tersenyum.

"Emm... Iyaa". Kataku sambil sedikit menganggukkan kepala.

Sambil menatap terbenamnya matahari, anak itu berkata. "Putra pasti akan menjaga baik-baik jika Ibu masih ada, masih sehat, masih kuat dan pasti senyuman dan sentuhan yang lembut akan membuat putra lebih semangat dalam menjalani hidup”.

"Sekarang Putra tinggal sama siapa. Terus kenapa membawa itu?(karung dan tongkat)". Ujarku sambil menatap wajah Putra. Dengan wajah yang penuh pikiran lalu...

"Kak..Apa kakak mau mengantar Putra pulang.?" Kata Putra, sambil memegang tanganku.

"Yaudah, kakak antarkan Putra pulang". Kataku sambil tersenyum memeganag pundaknya. Aku dan Putra berjalan meninggalkan tempat ini. Lampu-lampu kota bersinar menerangi jalan. Tak terasa sudah 10 menit kita berjalan dan Putra berhenti di pinggir sawah pojok kota. Lalu...

"Ada apa, kok berhenti?". Ujarku sambil menatap wajah Putra.

"Ini rumahku kak, 3 tahun aku tinggal sendiri di sini". Ujar Putra sambil menunjuk rumahnya.

"Laah.. keluarga kamu di mana?". Ujarku sedikit kaget.

"4 tahun yang lalu Ibu, Bapak dan adek luka berat gara-gara kecelakaan bus ketika mau pulang dari Surabaya. Mereka di bawa ke rumah sakit, kata dokter harus di operasi, Putra jual barang-barang yang ada di rumah untuk biaya operasi mereka dan hasilnya mereka tidak bisa di selamatkan, benar-benar hancur waktu itu. Dan sekarang aku tak punya apa-apa dan Aku harus bisa membiayai sekolahku demi masa depanku, dan hanya tongkat dan karung ini Aku bisa mencari ilmu". Ujar Putra sambil meneteskan air matanya.

Tetesan air mata menggenangi pipi pemimpi tinggi, Putra Dirgantara namanya. Usia penuh cita dan semangat yang masih membara,. Sudut lain. Angin yang sepoi-sepoi tak terasa sudah 1 jam Aku duduk di kursi depan rumah Putra, dengan wajah bengong aku memikirkan Ibu, Bapak keluarga di rumah. Lalu...

" Kakak pulang dulu ya dek, kamu yang sabar, semangat dan jangan menyerah ". Ujarku sambil memegang pundak putra. Dengan senyuman tipis bahagia putra berkata.

"Iya kak, makasih sudah ngantar Putra pulang".

"Iya… Semangat” Ujarku sambil mengayunkan kepalan tangan ke atas.

Dan aku segera pulang untuk menemui keluargaku.

Selesai.

BIOGRAFI PENULIS

MAT LUKMAN TAQIM

Facebook
0 Blogger

0 komentar: