RUANG
RAHASIA
Siang
yang terik di pertengahan Desember tahun 1865. Seorang lelaki tua, memakai
jubah dan sorban putih berdiri menatap pemuda yang terengah-engah dari
kejauhan. Beberapa pemuda berpeci dan bersarung yang lewat mengangguk takzim
padanya. Dilihatnya pemuda itu membawa buntalan kain motif kotak-kotak merah
biru dan karung yang terikat, dengan khas tampilan santri baru. Pemuda
bersimbah peluh itu menghampirinya dan mengucap salam.
“Sepertinya
kamu datang dari jauh? Siapa namamu?” tanya lelaki itu yang kemudian duduk
diatas kursi jati berwarna coklat kelam. “Benar, kyai. Nama saya Hasan dari
Butuh. Mohon izin untuk menimba ilmu di pondok ini. Maaf saya anak orang
miskin, orang tua saya tidak bisa memberi apa-apa,” jawab sang pemuda berusia
enam belas tahun itu. Lelaki yang disebut Kyai itu memperhatikan dengan seksama
tampilan pemuda di depannya. Kulit hitam, rambut ikal dan berwajah biasa.
“Itu
bukan masalah, tapi apa kamu yakin? Saya bukan siapa-siapa, mungkin tidak bisa
memberimu ilmu apapun,”kata Kyai.
“Saya
ikut saja apa kata Kyai, yang penting bisa mondok di sini,” jawab Hasan.
“Baiklah.
Kamu jadi khodam di sini, tugasmu membuka pintu setiap pagi dan mengunci
kembali pada malam hari setelah santri selesai kegiatan. Namun ingat, ada satu ruangan
yang tidak boleh kamu buka kuncinya meskipun diminta oleh siapapun dan dengan
alasan apapun. Letaknya ada di sebelah kandang kambing, nanti saya suruh Toyib,
khodam lain, untuk mengantarmu berkeliling. Kamu bisa memulai tugas malam ini.
Kamar khodam ada di sebelah kiri dapur pondok.
Setelah
diajak berkeliling oleh Toyib, Hasan beristirahat di kamar khusus khodam. Ia
bertanya banyak hal pada teman barunya. Termasuk kemungkinan isi ruangan
rahasia itu.
Hasan
mengerjakan tugasnya dengan baik. Pukul tiga pagi, dia sudah membuka seluruh
pintu dan membersihkan masjid serta kelas-kelas karena akan digunakan ratusan
santri untuk sholat shubuh dilanjutkan mengaji Al-Qur`an. Namun, dia tidak
pernah diperintahkan untuk masuk ke salah satu kelas mengaji. Oleh sebab itu,
setelah melakukan tugasnya, Hasan sering mencuri dengar pelajaran dibalik
dinding kelas yang terbuat dari anyaman bambu. Kemudian, ia mencatat dari
penjelasan Ustadz yang mengajar, tanpa tahu bahwa kelas-kelas itu dibagi
berdasarkan tingkatan. Ia melakukannya berpindah-pindah, tergantung kelas mana
yang paling nyaring suara pengajarnya.
“San
tolong bukakan ruangan disebelah kandang kambing! Aku mau mengambil barang,”
pinta Ning Saidah. Hasan ragu. Ia menggaruk kepala yang tak gatal. “Waduh,
maaf. Bukannya saya tidak mau, tapi sudah dipesan Kyai kalau tidak boleh
membuka ruangan itu sama sekali.” Takut-takut ia menolak. Anak perempuan Kyai
berumur tiga puluh tahun itu bersedekap. “Sudahlah, abah tidak akan tahu.
Sebentar saja,” tawarnya. “Maaf, Ning. Perintah Kyai amanat untuk saya, tidak
mungkin saya langgar.” Hasan mengatupkan kedua tangannya di dada tanda takzim. “Awas
saja kamu, San. Ndak nurut, kuadukan nanti!” Ning Saidah pergi masih dengan
wajah sangar.
Genap
lima tahun ia berada di pondok itu, Hasan masih melakukan kegiatan seperti
biasa meskipun santri datang silih berganti.
“San,
kamu dipanggil Mbah Kyai disuruh menghadap ke rumah ndalem,” teriak Toyib.
Hasan segera meletakkan cangkul yang ia gunakan untuk membersihkan rumput
menuju rumah ndalem.
“San,
duduk!” perintah Kyai tegas. Hasan berdebar, menerka-nerka sudah melakukan
kesalahan apa.
“Kamu
sudah lima tahun mondok disni. Dapat apa saja?” lanjut Kyai.
Hasan
berpikir sejenak. Memang selama mondok, ia hanya bertugas membuka dan menutup
pintu dengan segerombol kunci yang sudah dihafal urutannya. Pelajaran yang
didapatnya pun hanya sekilas.
“Kenapa
diam? Merasa tidak dapat sesuatu? Saya kan sudah bilang kalau tidak berjanji
memberimu ilmu,” Tegas Kyai. “Maaf, Kyai. Saya mendapatkan banyak hal disini,”
jawab Hasan. Mana mungkin ia menyuarakan isi hatinya. “Jangan mencoba berbohong
padaku. Aku pernah mendengarmu menggerutu sebab tidak diikutkan pelajaran
madrasah seperti temanmu,” tembak Kyai. “Aku juga tahu, kamu sering mencuri
dengar pelajaran di kelas. Kamu sedikit sekali tidur karena berusaha mengejar
ketertinggalan dan harus bangun lebih pagi daripada santri lain. Tidak pernah
meninggalkan sholat wajib dan sunnah,” lanjut Kyai. Hasan terhenyak. ‘bagaimana
kyai bisa mengetahui?’ batinnya.
“Aku
rasa sudah cukup waktumu disini. Kuizinkan kamu pulang untuk mengabdikan ilmu.
Kembalikan kunci-kunci itu padaku,” pinta Kyai. Beliau tersenyum, telapak
tangannya terbuka.
“Tapi
kyai, saya masih ingin disini menjadi khodam,” jawab Hasan pelan, sedih karena
merasa terusir. Tapi tak urung tangannya mengangsurkan segerombolan kunci yang
selama ini dipegangnya.
“Sudah
cukup ilmu tertinggi yang bisa kuberikan padamu. Orang orang di kampung
membutuhkanmu,” tegas Kyai. Hasan mengernyit samar, kepalanya tertunduk dalam. “Ujian
menuntut ilmu telah kamu jalani selama lima tahun, San. Terbukti ruangan
sebelah kandang tidak terbuka sama sekali selama kamu disini, bahkan ketika
keluargaku yang memintanya. Sekarang pulanglah, aku meridhoimu untuk mengamalkan
ilmu yang telah kau dapat. Sampaikan apa yang benar-benar kamu mengerti,” tutur
kyai sepuh itu.
Hasan
mencium takzim sang Kyai dengan berlinang air mata. Sadar bahwa selama ini ia
sering menggerutu tidak ikhlas karena merasa dibedakan dengan santri lain.
Rupanya ada rahasia besar di baliknya. Sebab, tak semua santri mendapatkan
kesempatan yang sama sepertinya, pelajaran hidup langsung dari Kyai.
“Mungkin
kamu penasaran dengan isi ruangan itu. Ikut aku!” perintah Kyai, beranjak dari
kursinya. Hasan mengekor di belakang. Sampai di depan ruangan, Kyai memasukkan
kunci ke lubangnya. Tanpa memutar kunci, pintu langsung dapat dibuka. “Ruangan
sebenarnya tidak terkunci, tapi aku memang melarang membukanya tanpa seizinmu.
Aku hanya memberimu kunci tanpa memberitahu bahwa ruangan ini tidak terkunci.
Namun, karena sifat tawadhu dan kesabaran, kamu berhasil menjaga kepercayaan
selama lima tahun. Itulah kunci menuntut ilmu dan makna Pendidikan sebenarnya.”
Kyai tersenyum dan menepuk bahu Hasan.
Pemuda
itu segera bersimpuh di kaki Kyai dan mengucapkan terima kasih serta maaf. Ia
segera mengemasi barangnya yang tidak seberapa banyak dengan hati lega. TAMAT
BIOGRAFI PENULIS
Kuni Khumaero`, sangat
kagum dipanggil dengan nama pena Khumaer Elchama. Lahir 16 tahun yang lalu di
perdesaan Magelang, Jawa Tengah. Si melankolis yang kadang sanguinis ini punya
hobi menggambar, berdebat, diskusi, bercita-cita menjadi psikolog ternama. Saat
ini menjadi siswi jurusan ilmu-ilmu keagamaan di salah satu Madrasah Aliyah
Negeri di Kota Magelang yang berkeinginan melanjutkan Pendidikan di Universitas
Al-Azhar Cairo Mesir. Si pemalas yang cinta mati dengan dunia seni ini jejaknya
bisa dilacak melalui akun Instagram @isabellaisabella2274. Kicauannya kadang
terselip di akun facebook Isabella. Dengan bekal karya tulisannya yang masih
amburadul, berharap bisa menjadi posisi yang paling beruntung dalam event ini.
Terimakasih