TONGKAT
KECIL SANG PEMIMPI
Angin berhembus bersama rintihan
hujan, membasahi baju yang sedikit tersisa. Di batas kota seribu bunga.
Magelang. Aku titipkan sejenak badan ini di warung kopi. Waktu menunjukan pukul
18.00 dan tak seperti biasanya, jalan yang di penuhi bus kota sekarang hanya
tinggal kendaraan bermotor saja. Segelas kopi panas menemaniku duduk di kursi
kecil ini. Dengan wajah sedikit lemas mereka datang dari satu per satu untuk
memesan kopi. Disudut lain. Penjual gorengan dengan badan tinggi sedikit gemuk
mengingatkanku kepada ibu. 2 tahun aku meninggalkan Ibu dan Bapak di kota
orang. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Yang kini harus berjuang
mencari ilmu di kota orang. Sesaat setelah ampas kopi mulai terlihat, dari
kejauhan aku melihat anak kecil membawa tongkat dan memanggul karung. Bergegas
dan bangkit aku dari kursi kecil ini lalu Aku menghampiri anak kecil itu...
“ Dek… Kenapa kau di sisni, Ibu kamu di mana dek?”. Ujarku di
samping anak laki-laki itu. Dengan tatapan wajah yang berkaca-kaca, anak itu
diam. Muka lemas sambil memegang tongkat kecilnya anak itu masih terdiam. Hati
ini sedikit penasaran. Lalu …
“Kak. Apa kakak pernah membuat Ibu menengis?”. Ujar anak itu
kepadaku dengan wajah yang berkaca-kaca.
“Emm...”. Jawabanku dengan sedikit
menganggukan kepala. Disudut lain penjual kopi berjalan menghampiriku dengan membawa
segelas kopi panas lalu…
“Dek, ini di minum dulu”. Ujar penjual kopi sambil
mengasihkan segelas kopi ke anak laki-laki tersebut. Berlahan matahari
meninggalkan kopi dengan senja berselimut kabut. Sedikit tiupan dan seduhan,
tak terasa ampas kopi mulai kelihatan lalu...
"Beruntung ya Kakak masih punya Ibu". Ujar anak
laki-laki itu sedikit tersenyum.
"Emm... Iyaa". Kataku sambil sedikit menganggukkan
kepala.
Sambil menatap terbenamnya matahari, anak itu berkata. "Putra
pasti akan menjaga baik-baik jika Ibu masih ada, masih sehat, masih kuat dan
pasti senyuman dan sentuhan yang lembut akan membuat putra lebih semangat dalam
menjalani hidup”.
"Sekarang Putra tinggal sama siapa. Terus kenapa membawa
itu?(karung dan tongkat)". Ujarku sambil menatap wajah Putra. Dengan wajah
yang penuh pikiran lalu...
"Kak..Apa kakak mau mengantar Putra pulang.?" Kata
Putra, sambil memegang tanganku.
"Yaudah, kakak antarkan Putra pulang". Kataku
sambil tersenyum memeganag pundaknya. Aku dan Putra berjalan meninggalkan
tempat ini. Lampu-lampu kota bersinar menerangi jalan. Tak terasa sudah 10
menit kita berjalan dan Putra berhenti di pinggir sawah pojok kota. Lalu...
"Ada apa, kok berhenti?". Ujarku sambil menatap
wajah Putra.
"Ini rumahku kak, 3 tahun aku tinggal sendiri di
sini". Ujar Putra sambil menunjuk rumahnya.
"Laah.. keluarga kamu di mana?". Ujarku sedikit
kaget.
"4 tahun yang lalu Ibu, Bapak dan adek luka berat
gara-gara kecelakaan bus ketika mau pulang dari Surabaya. Mereka di bawa ke
rumah sakit, kata dokter harus di operasi, Putra jual barang-barang yang ada di
rumah untuk biaya operasi mereka dan hasilnya mereka tidak bisa di selamatkan,
benar-benar hancur waktu itu. Dan sekarang aku tak punya apa-apa dan Aku harus
bisa membiayai sekolahku demi masa depanku, dan hanya tongkat dan karung ini
Aku bisa mencari ilmu". Ujar Putra sambil meneteskan air matanya.
Tetesan air mata menggenangi pipi pemimpi tinggi, Putra
Dirgantara namanya. Usia penuh cita dan semangat yang masih membara,. Sudut
lain. Angin yang sepoi-sepoi tak terasa sudah 1 jam Aku duduk di kursi depan rumah
Putra, dengan wajah bengong aku memikirkan Ibu, Bapak keluarga di rumah. Lalu...
" Kakak pulang dulu ya dek, kamu yang sabar, semangat
dan jangan menyerah ". Ujarku sambil memegang pundak putra. Dengan
senyuman tipis bahagia putra berkata.
"Iya kak, makasih sudah ngantar Putra pulang".
"Iya… Semangat” Ujarku sambil mengayunkan kepalan tangan
ke atas.
Dan aku segera pulang untuk menemui keluargaku.
Selesai.
BIOGRAFI PENULIS
MAT LUKMAN TAQIM